Quinolone-Fluoroquinolones
Quinolone-Fluoroquinolones
26.06.2020
Pada 1964, United States Food and
Drug Administration (FDA) menyetujui bahwa Nalixidic Acid adalah bentuk pertama
dari Quinolone. Selama beberapa dekade, obat ini digunakan untuk mengobati
Urinary Tract Infections (UTI) pada anak berumur 3 bulan atau lebih tua tanpa
restriksi. Lalu, fluorinasi selanjutnya dari
senyawa quinolone menyebabkan
terciptanya generasi baru dari
fluoroquinolones, yang menyebabkan peningkatan
spectrum aktivitas kerja antibiotik ini1.
Nalixidic
acid merupakan obat yang memiliki
spektrum kerja yang sempit dan kurang baik saat didistribusikan di dalam tubuh.
Namun, lahirnya obat generasi baru seperti Fluoroquinolone yang sangat popular malah
mengarah ke terjadinya overuse oleh
tenaga kesehatan. Beberapa alasan mengapa Fluoroquinolone begitu disenangi
- Obat ini bisa di konsumsi dalam bentuk oral dan diabsorbsi dengan baik oleh Gastrointestinal Tract (GIT).
- Obat ini didistribusikan dengan efisien di dalam tubuh dan bisa memprenetrasi ke jaringan-jaringan dalam tubuh. Bahkan obat ini bisa penetrasi ke dalam sel dan membunuh organism intraseluler seperti Mycobacterium Tuberculosis, Clamidya, Legionella dan lain-lain
- Fluroquinolone generasi baru bisa membunuh bakteri gram positif maupun negatif
- Obat ini ditoleransi dengan baik oleh tubuh, memiliki efek samping namun relatif aman dibanding antibiotik lain
Mekanisme aksi
Sebelum kita memasuki klasifikasi dari obat ini, ada baiknya kita mengetahui mekanisme kerja dari obat ini terlebih dahulu. Obat ini merupakan antibiotik jenis bactericidal yang berarti bertugas untuk membunuh bakteri. Lalu bagaimana kerjanya?
Dalam
sintesis DNA yang double helix ini, untuk memulai proses sintesis kelak akan
terjadi overtwisted pada DNA bakteri tersebut.
Klasifikasi
1st
generasi (Quinolone): Nalidixic Acid, dll
2nd
generasi: Ciprofloxacin, norfloxacin, olfoxacin, dll
3rd
generasi: Levofloxacin, dll
4th
generasi: Moxifloxacin, dll
Apa yang membedakan empat generasi obat ini adalah spectrum kerja mereka. Dimana generasi empat memiliki spectrum yang lebih luas dibanding generasi tiga dan seterusnya.
1st Generasi à Nalixidic Acid
Obat ini cukup baik membunuh bakteri gram negatif khususnya Enterobacteriaceae. Namun memiliki kemampuan yang minimal untuk menghadapi bakteri gram positif, bahkan tidak mampu untuk menghadapi bakteri anaerob maupun atipikal. Jadi, memang spectrum kerja dari nalixidic acid ini memang sempit.
Obat ini juga sudah jarang digunakan lagi karena kemampuan untuk menyebar di dalam tubuh juga kurang baik. Biasanya hanya digunakan untuk menatalaksana pasien dengan Uncomplicated Urinary Tract Infection (UTI). Bisa digunakan untuk pasien UTI yang tidak memiliki komplikasi karena obat ini dieksresi lewat renal system dan nanti akan terkonsentrasi di urinary system kita. Oleh karena obat ini akan terkonsentrasi di Urinary Tract kita yang sedang terinfeksi, maka obat ini bisa bekerja dengan baik di lokasi tersebut.
2nd Generasi à Ciprofloxacin, Norfloxacin, Ofloxacin
Obat generasi kedua bersifat lebih
luas spektrumnya. Lebih efisien untuk membunuh lebih banyak bakteri gram negatif.
Antibiotik ini mampu membunuh beberapa bakteri khususnya di Gastrointestinal Tract (GIT) seperti salmonella, shigella, E. coli, dan lain
sebagainya.
Antibiotik ini juga bekerja pada
beberapa bakteri gram positif, namun belum mampu membunuh Streptococcus pneumonia (Pneumococcal). Karena daya kerjanya yang
mengharuskan untuk memasuki sel dari bakteri, antibiotik ini juga mampu
membunuh bakteri intraseluller seperti Mycobacterium
ataupun Salmonella Typhi.
Selain itu, antibiotik ini juga sudah mampu membunuh bakteri yang bersifat atypical. Bakteri atypical adalah bakteri yang tidak bisa diwarnai dengan pengecatan gram. Mereka tidak tergolong bakteri gram positif maupun gram negatif. Contohnya seperti Chlamydiacae, Legionella atau Mycoplasma.
Bakteri gram positif memiliki lapisan peptidoglycan yang tebal sehingga crystal violet akan tetap menempel pada bakteri selama proses pengecatan gram dan menghasilkan warna ungu. Gram negatif memiliki peptidoglikan yang tipis, sehingga pada saat penambahan ethanol akan menyebabkan terbuangnya crystal violet tadi. Pada akhirnya bakteri gram negatif akan berwarna merah atau pink dikarenakan penambahan counterstatin seperti safranin. Bakteri Atypical tidak memiliki peptidoglycan pada dinding selnya sehingga tidak bisa mempertahankan crystal violet ataupun safranin yang diberikan saat proses pengecatan sehingga tidak menghasilkan warna. Disarankan untuk membaca lebih lanjut tentang Gram-Staining ini.
Sebagai tambahan, peptidoglycan merupakan tempat kerja dari antibiotik beta-lactam seperti penicillin dan cephalosporins. Jadi, secara natural bacteri seperti chlamydia ataupun mycoplasma secara natural memang resisten terhadap antibiotik ini. Finally, beberapa bakteri atypical ini mampu menyebabkan pneumonia yang disebut atypical pneumonia.
3rd Generasi à Levofloxacin (Respiratory Quinolone)
Obat generasi ini memiliki spectrum kerja
yang lebih luas. Yang pada generasi kedua fokusnya ke bakteri gram negatif,
bakteri atypical dan sedikit gram positif tanpa kemampuan untuk membunuh
pneumococcus. Pada generasi ketiga, daya kerjanya meningkat dimana sudah mampu
membunuh lebih banyak bakteri gram positif khususnya bakteri Pneumococcus.
Mengapa Pneumococcus ini begitu penting? Karena bakteri ini merupakan bakteri
yang sering menyebabkan pneumonia pada pasien.
Fluoroquinolones generasi tiga
maupun empat memiliki sebutan lain yaitu respiratory
quinolone. Disebut demikian karena obat ini baik digunakan untuk menatalaksana
pasien yang pneumonia. Syarat suatu antibiotik bisa digunakan untuk mengobati
pneumonia adalah dia memiliki kemampuan untuk cover bakteri gram negatif,
bakteri atypical maupun bakteri gram positif khususnya pneumococcus ini.
4th Generasi à Moxifloxacin
Ini merupakan obat dengan kemampuan paling luas dari golongan ini. Obat ini mampu mengcover bakteri gram negatif, gram positif, atypical bahkan organism anaerob yang biasa didapatkan pada mix infection ataupun intraabdominal infection.
Contoh penggunaan Fluoroquinolones
Sebagai
sebuah group, obat ini baik untuk digunakan pada pasien UTI. Bakteri tersering
penyebab UTI adalah E. Coli (80%).
Wanita memiliki chance lebih tinggi
untuk mendapati kondisi ini salah satunya dikarenakan keadaan anatominya.
Wanita memiliki urinary tract yang
pendek dan risiko untuk mengalami infeksi dari anus juga tinggi karena letak
anus yang berdekatan dengan vulva ataupun uretra.
2nd Generasi
Ciprofloxacin
Kita harus bijak dalam menggunakan obat ini, karena overuse obat ini bisa menyebabkan resistensi. Sebisa mungkin kita tidak menggunakan pada pasien yang kita curigai terinfeksi Metylcillin Resistence Staph. Aureus (MRSA) ataupun pada anak di bawah 18 tahun di saat cartilage anak tersebut belum matang.
Obat ini efektif pada pasien:
- Pasien yang mengalami travelers’ diarrhea. Kondisi ini bisa terjadi dimana saja, namun destinasi paling tinggi risikonya merupakan Asia (kecuali Jepang dan Korea Selatan)4. Biasa disebabkan oleh berbagai pathogens. Bakteri merupakan pathogen yang paling sering menyebabkan kondisi ini bahkan mencapai angka 80%-90%. Virus ikut menyumbang sekitar 5%-15% atas keadaan ini. Bakteri tersering seperti Escherichia coli, diikuti Campylobacter jejuni, Shigella spp dan salmonella spp5. Baik untuk pasien yang sedang mengalami typhoid fever
-
Baik pada pasien yang mengalami inhalation anthrax1
-
Efektif pada anak dengan Cystic Fibrosis yang dicurigai
mengalami infeksi Pseudomonas aeruginosa.
Walaupun sebelumnya dikatakan bahwa penggunaan Fluoroquinolones harus dibatasi
pada anak-anak, namun dalam case ini kita dibolehkan untuk menggunakan
ciprofloxacin karena lebih banyak baiknya dibanding buruknya1.
-
Pada pasien TB yang resistence juga berguna mengingat cara
kerja obat ini yang bersifat intraseluler, dengan kombinasi obat lain tentunya.
-
Sebagai alternative obat aminoglycoside
-
Mampu bersinergi dengan antibiotik beta-lactam sehingga bisa
saling menguatkan.
Norfloxacin
- Yang
membedakan dengan ciprofloxacin adalah obat ini kurang terdistribusi dengan
baik di tubuh, sehingga kurang efektif pada infeksi sistemik.
- Obat
ini efektif pada pasien UTI dan bisa digunakan untuk pasien prostatitis
3rd Generasi
Levofloxacin.
- Antibiotik ini mampu bekerja pada bakteri gram negatif, gram positif seperti pneumococcus maupun atypical
- Obat ini juga bisa digunakan untuk tatalaksana pasien prostatitis. Pada kondisi ini obat harus diberi dalam waktu cukup panjang sekitar 10-14 hari karena tidak mudah untuk menghilangkan bakteri dari organ ini. Obat ini digunakan secara oral pada outpatient management tanpa risiko sexual transmitted infections ataupun secara intravena pada inpatient management yang tidak terlalu parah dan tidak memiliki faktor risiko resistensi6.
- Pada 1993, CDC merekomendasikan penggunaan Fluoroquinolones pada pasien gonorrhea. Namun sejak 2007 penggunaan obat ini sudah tidak direkomendasikan karena resistensi gonorrhea terhadap fluoroquinolone sudah meningkat7.
-
Infeksi kulit
- Infeksi
pernafasan seperti Acute sinusitis, Kronik bronchitis eksaserbasi akut maupun Pneumonia
(CAP)
- Pada CAP, pasien dengan cardiopulmonary disease, pasien rawat inap yang tidak di ICU atau pasien
yang alergi penisilin direkomendasikan untuk menggunakan respiratory fluoroquinolone. Pada CAP parah yang memerlukan perawatan ICU, respiratory fluoroquinolone ini bisa
dikombinasikan dengan beta-lactam. Penggunaan terapi kombinasi berhubungan
dengan rendahnya angka mortalitas dibanding terapi monoterapi pada pasien yang
mengalami pneumonia pneumococcal8.
4th Generasi
Moxifloxacin
- Obat
generasi ini mampu bekerja pada bakteri gram negatif, gram positif, atypical
bahkan bakteri anaerob.
- Sebagai tambahan bahwa kebanyakan obat
Fluoroquinolones dieliminasi lewat renal
system. Tapi pada moxifloxacin, obat ini dieliminasi lewat liver. Sehingga
pada pasien gagal ginjal baik menggunakan obat ini
Mekanisme Resistensi
Penggunaan
antibiotik yang ugal-ugalan tanpa memperhatikan indikasi dengan serius bisa
berujung ke keadaan resistensi. Keadaan dimana antibiotik tersebut tidak bisa
bekerja pada bakteri targetnya.
Setiap
bakteri memiliki porin. Porin
ini digunakan untuk difusi molekul penting seperti nutrisi untuk masuk ke sel
bakteri maupun membuang toxins yang berada dalam sel bakteri keluar.
Fluoroquinolones masuk ke dalam bakteri melalui porin ini. Agar antibiotik ini
bisa bekerja, dia harus mampu masuk ke dalam bakteri, mencapai tempat target
kerjanya dan berakumulasi di sana untuk waktu tertentu.
Setiap bakteri memiliki kromosom maupun
plasmid. Kedua hal ini lah yang berperan dalam proses resistensi bakteri
terhadap antibiotik khususnya Fluoroquinolones.
Kromosom yang bermutasi memiliki
mekanisme:
-
Memodifikasi porin pada
bakteri agar lebih sempit/selektif sehingga jumlah antibiotik yang bisa masuk
ke dalam sel bakteri berkurang atau bahkan tidak bisa sama sekali.
-
Memodifikasi Topoisomerase
dari bakteri tersebut. Topoisomerase merupakan target kerja dari
Fluorquinolones, sehingga antibiotik ini tidak berfungsi terhadap target
kerjanya lagi.
Plasmid memproduksi protein khusus yang
bertugas:
- Membuat efflux pump. Pompa ini bertugas untuk
mengeluarkan antibiotik yang berhasil masuk ke dalam sel bakteri. Mekanisme ini
memastikan bahwa antibiotik yang masuk ke dalam sel tidak mampu mencapai target
kerjanya maupun tidak bisa berakumulasi di dalam sel bakteri tersebut.
- Plasmid memproduksi
enzim acetyltransferase yang mentransfer acetyl group ke fluoroquinolone yang
masuk, sehingga obat ini tidak bisa berfungsi.
Fluoroquinolone pada anak-anak
Fluoroquinolone harus
dibatasi penggunaanya pada anak-anak. Ciprofloxacin diperbolehkan untuk
treatment pasien anak dengan inhalation
anthrax, complicated UTIs, dan pyelonephritis et cause E. coli pada anak usia 1 sampai 17 tahun dan ciprofloxacin dan
levofloxacin juga diperbolehkan pada pasien postexposure
inhalation anthrax. Moxifloxacin tidak disarankan untuk digunakan pada pasien
pediatric1.
Walaupun seharusnya dibatasi,
penggunaan fluoroquinolones tetap saja masih sering pada pasien yang mengalami
infeksi karena sifatnya yang broad
spectrum, toleransi obatnya baik, dan mudah untuk dikonsumsi secara oral. Pseudomonas aeruginosa dan bakteri gram negatif
lain sering ditargetkan dengan fluoroquinolones ketika dibutuhkan terapi secara
oral, khususnya ciprofloxacin atau levofloxacin. Pada populasi khusus seperti
anak dengan cystic fibrosis, seringkali terinfeksi dengan pathogen yang
resisten dan fluoroquinolones bisa efektif di sini. Sebagai tambahan,
ciprofloxacin juga digunakan untuk tatalaksana gastroenteritis akibat Shigella spp, Salmonella spp, E.coli
dan Campylobacter spp1.
Pada 2011, Pediatric Infectious
Disease Society (PIDS) dan Infectious Disease Society of America (IDSA)
mengeluarkan clinical practice guideline untuk CAP pada anak, Levofloxacin
direkomendasikan sebagai terapi alternative untuk Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Mycoplasma pneumonia
dan Chlamydia pneumonia. Lalu, IDSA
juga merekomendasikan levofloxacin untuk tatalaksana acute bacterial rhinosinusitis pada anak dan pasien dewasa yang
alergi penisilin. Levofloxacin juga efektif untuk tatalaksana pasien otitis
media rekuren. Namun, fluoroquinolone bukan merupakan first line pada
keadaan-keadaan ini dan harus digunakan dalam pengawasan ketat pada pasien yang
memang tidak memiliki alternatif lain1.
Keamanan pada anak-anak
Penggunaan obat ini pada anak-anak
memang dibatasi secara ketat. Obat ini bisa menyebabkan toksisitas pada system muskuloskeletal
anak yang belum matang, walaupun mekanisme pastinya belum diketahui. Terdapat
beberapa hipotesa bagaimana hal ini bisa terjadi, seperti:
Obat ini akan menginhibisi DNA mitokondrial yang bertanggung jawab dalam
sintesis immature chondrocytes.
- Fluoride quinolone dipercaya menyebabkan kerusakan secara langsung
terhadap cartilage, padahal
nonfluorinated quinolone juga bisa menyebabkan kerusakan ini dibuktikan dengan
eksperimen pada hewan
- Potensi terjadinya defisiensi magnesium pada cartiage diakibatkan kelasi dengan quinolone
Dari beberapa hipotesis diatas masih belum ada mekanisme pasti penyebab
terjadinya arthropathy pada anak yang mengonsumsi Fluoroquinolone1.
Farmakokinetik
dari Fluoroquinolone
Sebagaimana
kita ketahui bahwa obat ini bisa dikonsumsi dalam bentuk oral dan diabsorbsi
dengan baik bahkan mencapai angka 80-90%. Walaupun diabsorbsi dengan baik, kita
harus memperhatikan bahwa kation mampu mengurangi absorbi dari obat ini.
Konsumsi antasida (Al+) sebelum penggunaan obat ini akan menurunkan
absorbi antibiotik ini. Begitupula pada orang yang mengonsumsi yoghurt yang
kaya akan Ca+ atau mengonsumsi suplemen Fe+ sebelum konsumi
Fluoroquinolone bisa menyebabkan penurunan daya absorbs tubuh terhadap
antiobiotik ini. Oleh karena itu, ada baiknya kita mengedukasi pasien untuk
memberi jarak paling tidak 3 jam antara konsumi obat maupun makanan yang kaya
akan kation dengan antibiotik ini.
Kalau
berbicara mengenai bentuk sediaan yang kebanyakan dalam bentuk oral, dalam
keadaan tertentu kita membutuhkan obat ini berada pada konsentrasi yang tinggi
dalam waktu yang cepat. Oleh karena itu kita membutuhkan Fluoroquinolones dalam
sediaan injeksi. Fluoroquinolones yang tersedia dalam sediaan ini adalah
Ciprofloxacin dan Levoloxacin.
Obat
golongan ini memiliki kemampuan penetrasi yang bagus bahkan sampai ketingkat
sel, sehingga bisa mengeliminasi mikroorganisme intraseluler. Kemampuan
penetrasi ke CNS pun begitu. Fluoroquinolone memiliki kemampuan yang baik untuk
tatalaksana infeksi CNS. Ciprofloxacin baik untuk infeksi CNS akibat bakteri
gram negatif dan moxifloxain baik untuk Mycobacterium
tuberculosis. Namun, aktivitas fluoroquinolone terlalu lemah untuk
tatalaksana meningitis diakibatkan Streptococcus
pneumonia. Dikarenakan kemampuan penetrasi ke CNS yang baik, injeksi
intrathecal tidak perlu dilakukan9.
Kebanyakan
obat golongan ini dieliminasi renal
system, dengan melalui mekanisme filtrasi maupun transport aktif menuju
tubulus nephrone dan pada akhirnya terakumulasi dalam urine. Oleh karena itu
obat ini baik untuk tatalaksana pasien UTI. Yang perlu digaris bawahi adalah
moxifloxacin dieliminasi lewat liver.
Levofloxacin dan moxifloxacin memiliki waktu paruh yang panjang dan butuh waktu yang cukup lama untuk keluar dari dalam tubuh. Makanya kedua obat ini dapat diberi dalam dosis satu kali sehari dan cukup bermanfaat pada era COVID-19 ini untuk mengurangi kontak antara tenaga kesehatan dengan pasien COVID-19.
Efek Samping
Obat ini cukup aman walaupun tetap
memiliki efek samping. Kita akan membahas per-organ yang bisa terdampak
a.
Gastrointestinal
Tract (GIT)
Karena mayoritas dikonsumsi dalam bentuk oral,
akan ada efek samping pada GIT sama halnya seperti obat lain yang bisa
mengiritasi daerah ini. Efek samping paling umum adalah Nausea, Vomiting dan
Diarrhea.
Dalam keadaan tertentu, kita harus lebih
waspada terhadap komplikasi lebih serius yang bisa terjadi pada penggunaan obat
ini. Antibiotik ini merupakan golongan antibiotik yang broad spectrum. Perlu diingat bahwa di GIT kita juga memiliki
bakteri yang memerankan peran baik di sana. Syarat pertama suatu pathogen bisa
menyebabkan penyakit pada pasien adalah harus mengalahkan bakteri baik ini
terlebih dahulu. Bakteri baik ini disebut dengan flora normal.
Pada GIT kita terdapat suatu bakteri bernama Clostridium difficile. Bakteri ini
memang sudah berada pada saluran cerna seseorang yang sehat, namun karena
adanya flora normal tadi, bakteri ini tidak menyebabkan suatu keadaan sakit
pada pasien. Ketika kita memberikan pasien antibiotik broad spectrum seperti Ciprofloxacin (contoh lain clindamycin atau
4th generation of cephalosporin), obat ini mampu membunuh banyak
bakteri pathogen yang ada di GIT kita memang. Konsekuensi yang harus kita ambil
adalah obat ini juga akan membunuh flora normal yang ada di GIT kita, Namun
obat ini tidak mampu membunuh C.
difficile ini. Apa yang terjadi? GIT kita akan mulai dipenuhi oleh bakteri
ini. C. difficile akan mulai memproduksi toxin yang akan mulai merusak GIT
system kita.
- Pseudomembranous colitis
Keadaan ini merupakan salah satu akibat dari meningkatnya jumlah C. Difficile dibanding flora normal di GIT kita. Singkatnya, toxin yang terbentuk mulai akan menyebabkan inflamasi dan merusak lapisan mukosa pada GIT. Big fight antara C. Difficile dengan system imun kita di GIT akan menyebabkan abdominal pain, diare maupun demam. Ketika lapisan mukosa pada GIT mengalami inflamasi, akan terjadi kebocoran protein plasma termasuk fibrin, Fibrin ini akan mulai membentuk membrane disana, dimana membrane in akan menjadi sarang bagi bakteri juga. Membrane yang terbentuk inilah kemudian disebut dengan pseudomembrane karena ini bukanlah membrane asli yang terbentuk dari mucosal membrane.
- Toxic Megacolon
Keadaan lebih parah yang bisa terjadi adalah
Toxic Megacolon. Di GIT kita terdapat Enteric Nervous System (ENS) yang terdiri
dari Auerbach’s plexus dan Meissner’s plexus. Ketika terlalu banyak toxin yang
terbentuk dan big fight dengan sistem
imun kita juga terjadi di GIT, lama kelamaan ENS ini tidak akan menjadi
disfungsional. Smooth muscle akan
berhenti kontraksi menyebabkan GIT menjadi relax dan berdilatasi lalu dipenuhi
dengan gas. Keadaan ini lah yang disebut dengan toxic megacolon. keadaan ini
berbahaya karena bisa menyebabkan kematian.
Lalu, apa yang kita bisa lakukan dalam keadaan
seperti ini? kita bisa menggunakan Metronidazole ataupun Vancomycin sebagai
treatment atas infeksi C. difficile
ini.
b.
Central
Nervous System (CNS)
Sama seperti GIT tadi, efek samping dari obat
ini ada yang ringan ada juga yang berat.
Efek samping yang biasa terjadi pada CNS adalah headache dan dizziness.
Lalu, bagaimana dengan efek samping yang lebih berbahaya?
- Seizure
Mengapa Fluoroquinolone bisa menyebabkan
kejang? Obat ini bisa menghambat kerja dari Gamma Aminobytric Acid (GABA)
Receptor. Perlu diingat basic physiology bahwa GABA merupakan lawan dari
Glutamat pada otak kita. GABA bertugas sebagai inhibitor sedangkan Glutamate
sebagai eksitator. GABA akan menghambat terjadinya overactivity pada otak kita
dengan bertindak sebagai rem. Ketika rem ini diganggu kerjanya, tidak heran
kejang bisa terjadi.
Obat ini juga mampu menghambat kerja dari
sitokorom P-450 (CYP). Enzim ini bertugas untuk melaksanakan proses Xenobiotic Metabolism di dalam tubuh
kita. Xenobiotic adalah substance yang ditemukan dalam tubuh organism yang
secara natural tidak diproduksi oleh organism itu sendiri, seperti obat atau
racun. Jadi, enzim ini penting untuk proses eliminasi obat dari dalam tubuh
kita.
Ketika seorang pasien rutin mengkonsumsi
Teofilin ataupun Caffeine, lalu mengkonsumsi Fluoroquinolone. Keadaan ini akan
menyebabkan tubuh overload dengan kedua substansi ini sehingga bisa menyebabkan
kejang pada pasien. Sebagai tambahan, pada pasien yang rutin mengonsumsi obat
seperti warfarin, lalu mendapat tambahan terapi Fluoroquinolones bisa
meningkatkan chance untuk terjadinya spontaneous
bleeding.
c.
Kulit
Efek samping pada kulit bisa menyebabkan
phototoxicity. Kulit akan menjadi sangat sensitive terhadap cahaya. Pasien
disarankan untuk menghindari paparan cahaya matahari berlebihan dan menggunakan
sunblock. Apabila efek samping ini muncul pada pasien, kita harus segera
menghentikan penggunaan obat ini
d.
Musculoskeletal
System
Artropati merupakan efek yang bisa terjadi pada
pasien. Obat ini akan merusak cartilage yang sedang tumbuh. Itulah mengapa obat
ini sangat dibatasi penggunaannya pada anak-anak, ibu hamil maupun ibu yang
sedang menyusui.
Pada pasien yang berusia di atas 60 tahun memiliki risiko untuk terjadinya tendinitis bahkan rupture tendon. Risikonya akan meningkat apabila pasien rutin mengonsumsi kortikosteroid
e.
Cardiac
Daftar
Pustaka
1. Patel K, Goldman JL. Safety Concerns Surrounding Quinolone Use in Children. J Clin Pharmacol. 2016;56(9):1060-1075. doi:10.1002/jcph.715
3. King DE, Malone R, Lilley SH. New classification and update on the quinolone antibiotiks. Am Fam Physician. 2000;61(9):2741-2748.
6. Coker TJ, Dierfeldt DM. Acute Bacterial Prostatitis: Diagnosis and Management. Am Fam Physician. 2016;93(2):114-120. Diakses melalui https://www.aafp.org/afp/2016/0115/p114.pdf
8. Mandell
LA, Wunderink RG, Anzueto A et
al. Infectious Diseases Society of America/American Thoracic
Society consensus guidelines on the management of community-acquired pneumonia
in adults. Clin. Infect.
Dis. 44(Suppl. 2), S27–S72 (2007).
•• An excellent resource for the management of
community-aquired pneumonia (CAP), this reference unifies the Infectious
Diseases Society of America and American Thoracic Society guidelines.
9. Roland Nau, Fritz Sörgel, Helmut Eiffert. Penetration of Drugs through the
Blood-Cerebrospinal Fluid/Blood-Brain Barrier for Treatment of Central Nervous
System Infections. Clinical Microbiology Reviews Oct 2010, 23 (4) 858883; DOI: 10.1128/CMR.00007-10
Komentar
Posting Komentar