Quinolone-Fluoroquinolones

   Quinolone-Fluoroquinolones

26.06.2020

    Pada 1964, United States Food and Drug Administration (FDA) menyetujui bahwa Nalixidic Acid adalah bentuk pertama dari Quinolone. Selama beberapa dekade, obat ini digunakan untuk mengobati Urinary Tract Infections (UTI) pada anak berumur 3 bulan atau lebih tua tanpa restriksi. Lalu, fluorinasi selanjutnya dari senyawa quinolone menyebabkan terciptanya generasi baru dari fluoroquinolones, yang menyebabkan peningkatan spectrum aktivitas kerja antibiotik ini1.

    Nalixidic acid merupakan obat yang memiliki spektrum kerja yang sempit dan kurang baik saat didistribusikan di dalam tubuh. Namun, lahirnya obat generasi baru seperti Fluoroquinolone yang sangat popular malah mengarah ke terjadinya overuse oleh tenaga kesehatan. Beberapa alasan mengapa Fluoroquinolone begitu disenangi

-  Obat ini bisa di konsumsi dalam bentuk oral dan diabsorbsi dengan baik oleh Gastrointestinal Tract (GIT).

-      Obat ini didistribusikan dengan efisien di dalam tubuh dan bisa memprenetrasi ke jaringan-jaringan dalam tubuh. Bahkan obat ini bisa penetrasi ke dalam sel dan membunuh organism intraseluler seperti Mycobacterium Tuberculosis, Clamidya, Legionella dan lain-lain

-         Fluroquinolone generasi baru bisa membunuh bakteri gram positif maupun negatif

-     Obat ini ditoleransi dengan baik oleh tubuh, memiliki efek samping namun relatif aman dibanding antibiotik lain


Mekanisme aksi

    Sebelum kita memasuki klasifikasi dari obat ini, ada baiknya kita mengetahui mekanisme kerja dari obat ini terlebih dahulu. Obat ini merupakan antibiotik jenis bactericidal yang berarti bertugas untuk membunuh bakteri. Lalu bagaimana kerjanya?

Quinolone dan Fluoroquinolones merupakan antibiotik yang bekerja dengan menghambat sintesis DNA dari bakteri secara langsung dengan menargetkan Topoisomerase bakteri di nucleus, yaitu DNA Gyrase dan Topoisomerase IV. Kedua enzim ini merupakan golongan tipe 2 topoisomerase

    Dalam sintesis DNA yang double helix ini, untuk memulai proses sintesis kelak akan terjadi overtwisted pada DNA bakteri tersebut.

 

    Ketika overtwisted ini dibiarkan terus menerus dan semakin banyak jumlahnya, maka proses sintesis DNA tidak bisa berlanjut.

    Disinilah letak fungsi enzim Topoisomerase. Enzim ini dianalogikan memiliki dua buah tangan yang mana satu tangan bertugas untuk memotong satu buah untaian DNA sehingga overtwisted DNA bisa kembali longgar lalu satu tangan lagi bertugas untuk mengelem untaian DNA yang dipotong tadi. Sehingga DNA bisa kembali seperti sedia kala. Mungkin akan lebih mudah dipahami apabila melihat videonya langsung

    Fluoroquinolones akan masuk ke dalam bakteri melalui difusi pasif, lalu mencari Topoisomerase dari bakteri tersebut dan akan mengganggu kerja enzim tersebut. Kerja yang terganggu berada pada tangan yang bertugas untuk mengelem DNA kembali setelah dipotong. Ketika hal ini terjadi secara terus-menerus, maka lama kelamaan semua untaian DNA akan berada dalam keadaan terpotong dan tidak tersambung kembali dan konsekuensinya adalah bakteri-bakteri ini akan mati.

Klasifikasi

 

1st generasi (Quinolone): Nalidixic Acid, dll

2nd generasi: Ciprofloxacin, norfloxacin, olfoxacin, dll

3rd generasi: Levofloxacin, dll

4th generasi: Moxifloxacin, dll

 

    Apa yang  membedakan empat generasi obat ini adalah spectrum kerja mereka. Dimana generasi empat memiliki spectrum yang lebih luas dibanding generasi tiga dan seterusnya.

1st Generasi à  Nalixidic Acid

    Obat ini cukup baik membunuh bakteri gram negatif khususnya Enterobacteriaceae. Namun memiliki kemampuan yang minimal untuk menghadapi bakteri gram positif, bahkan tidak mampu untuk menghadapi bakteri anaerob maupun atipikal. Jadi, memang spectrum kerja dari nalixidic acid ini memang sempit.

      Obat ini juga sudah jarang digunakan lagi karena kemampuan untuk menyebar di dalam tubuh juga kurang baik. Biasanya hanya digunakan untuk menatalaksana pasien dengan Uncomplicated Urinary Tract Infection (UTI). Bisa digunakan untuk pasien UTI yang tidak memiliki komplikasi karena obat ini dieksresi lewat renal system dan nanti akan terkonsentrasi di urinary system kita. Oleh karena obat ini akan terkonsentrasi di Urinary Tract kita yang sedang terinfeksi, maka obat ini bisa bekerja dengan baik di lokasi tersebut.

2nd Generasi à Ciprofloxacin, Norfloxacin, Ofloxacin

    Obat generasi kedua bersifat lebih luas spektrumnya. Lebih efisien untuk membunuh lebih banyak bakteri gram negatif. Antibiotik ini mampu membunuh beberapa bakteri khususnya di Gastrointestinal Tract (GIT) seperti salmonella, shigella, E. coli, dan lain sebagainya.

  Antibiotik ini juga bekerja pada beberapa bakteri gram positif, namun belum mampu membunuh Streptococcus pneumonia (Pneumococcal). Karena daya kerjanya yang mengharuskan untuk memasuki sel dari bakteri, antibiotik ini juga mampu membunuh bakteri intraseluller seperti Mycobacterium ataupun Salmonella Typhi.

   Selain itu, antibiotik ini juga sudah mampu membunuh bakteri yang bersifat atypical. Bakteri atypical adalah bakteri yang tidak bisa diwarnai dengan pengecatan gram. Mereka tidak tergolong bakteri gram positif maupun gram negatif. Contohnya seperti Chlamydiacae, Legionella atau Mycoplasma.

    Bakteri gram positif memiliki lapisan peptidoglycan yang tebal sehingga crystal violet akan tetap menempel pada bakteri selama proses pengecatan gram dan menghasilkan warna ungu. Gram negatif memiliki peptidoglikan yang tipis, sehingga pada saat penambahan ethanol akan menyebabkan terbuangnya crystal violet tadi. Pada akhirnya bakteri gram negatif akan berwarna merah atau pink dikarenakan penambahan counterstatin seperti safranin. Bakteri Atypical tidak memiliki peptidoglycan pada dinding selnya sehingga tidak bisa mempertahankan crystal violet ataupun safranin yang diberikan saat proses pengecatan sehingga tidak menghasilkan warna. Disarankan untuk membaca lebih lanjut tentang Gram-Staining ini.

    Sebagai tambahan, peptidoglycan merupakan tempat kerja dari antibiotik beta-lactam seperti penicillin dan cephalosporins. Jadi, secara natural bacteri seperti chlamydia ataupun mycoplasma secara natural memang resisten terhadap antibiotik ini. Finally, beberapa bakteri atypical ini mampu menyebabkan pneumonia yang disebut atypical pneumonia.

3rd Generasi à Levofloxacin (Respiratory Quinolone)

    Obat generasi ini memiliki spectrum kerja yang lebih luas. Yang pada generasi kedua fokusnya ke bakteri gram negatif, bakteri atypical dan sedikit gram positif tanpa kemampuan untuk membunuh pneumococcus. Pada generasi ketiga, daya kerjanya meningkat dimana sudah mampu membunuh lebih banyak bakteri gram positif khususnya bakteri Pneumococcus. Mengapa Pneumococcus ini begitu penting? Karena bakteri ini merupakan bakteri yang sering menyebabkan pneumonia pada pasien.

    Fluoroquinolones generasi tiga maupun empat memiliki sebutan lain yaitu respiratory quinolone. Disebut demikian karena obat ini baik digunakan untuk menatalaksana pasien yang pneumonia. Syarat suatu antibiotik bisa digunakan untuk mengobati pneumonia adalah dia memiliki kemampuan untuk cover bakteri gram negatif, bakteri atypical maupun bakteri gram positif khususnya pneumococcus ini.

4th Generasi à Moxifloxacin

    

Ini merupakan obat  dengan kemampuan paling luas dari golongan ini. Obat ini mampu mengcover bakteri gram negatif, gram positif, atypical bahkan organism anaerob yang biasa didapatkan pada mix infection ataupun intraabdominal infection.



Contoh penggunaan Fluoroquinolones

    Sebagai sebuah group, obat ini baik untuk digunakan pada pasien UTI. Bakteri tersering penyebab UTI adalah E. Coli (80%). Wanita memiliki chance lebih tinggi untuk mendapati kondisi ini salah satunya dikarenakan keadaan anatominya. Wanita memiliki urinary tract yang pendek dan risiko untuk mengalami infeksi dari anus juga tinggi karena letak anus yang berdekatan dengan vulva ataupun uretra.

2nd Generasi

Ciprofloxacin

    Kita harus bijak dalam menggunakan obat ini, karena overuse obat ini bisa menyebabkan resistensi. Sebisa mungkin kita tidak menggunakan pada pasien yang kita curigai terinfeksi Metylcillin Resistence Staph. Aureus (MRSA) ataupun pada anak di bawah 18 tahun di saat cartilage anak tersebut belum matang.

Obat ini efektif pada pasien:

    -      Pasien yang mengalami travelers’ diarrhea. Kondisi ini bisa terjadi dimana saja, namun destinasi paling tinggi risikonya merupakan Asia (kecuali Jepang dan Korea Selatan)4. Biasa disebabkan oleh berbagai pathogens. Bakteri merupakan pathogen yang paling sering menyebabkan kondisi ini bahkan mencapai angka 80%-90%. Virus ikut menyumbang sekitar 5%-15% atas keadaan ini. Bakteri tersering seperti Escherichia coli, diikuti Campylobacter jejuni, Shigella spp dan salmonella spp5. Baik untuk pasien yang sedang mengalami typhoid fever

    -      Baik pada pasien yang mengalami inhalation anthrax1

    -      Efektif pada anak dengan Cystic Fibrosis yang dicurigai mengalami infeksi Pseudomonas aeruginosa. Walaupun sebelumnya dikatakan bahwa penggunaan Fluoroquinolones harus dibatasi pada anak-anak, namun dalam case ini kita dibolehkan untuk menggunakan ciprofloxacin karena lebih banyak baiknya dibanding buruknya1.

    -      Pada pasien TB yang resistence juga berguna mengingat cara kerja obat ini yang bersifat intraseluler, dengan kombinasi obat lain tentunya.

    -      Sebagai alternative obat aminoglycoside

    -      Mampu bersinergi dengan antibiotik beta-lactam sehingga bisa saling menguatkan.

 

Norfloxacin

    -       Yang membedakan dengan ciprofloxacin adalah obat ini kurang terdistribusi dengan baik di tubuh, sehingga kurang efektif pada infeksi sistemik.

    -       Obat ini efektif pada pasien UTI dan bisa digunakan untuk pasien prostatitis

3rd Generasi

Levofloxacin.

     -  Antibiotik ini mampu bekerja pada bakteri gram negatif, gram positif seperti pneumococcus maupun atypical

    -   Obat ini juga bisa digunakan untuk tatalaksana pasien prostatitis. Pada kondisi ini obat harus diberi dalam waktu cukup panjang sekitar 10-14 hari karena tidak mudah untuk menghilangkan bakteri dari organ ini. Obat ini digunakan secara oral pada outpatient management tanpa risiko sexual transmitted infections ataupun secara intravena pada inpatient management yang tidak terlalu parah dan tidak memiliki faktor risiko resistensi6. 

    - Pada 1993, CDC merekomendasikan penggunaan Fluoroquinolones pada pasien gonorrhea. Namun sejak 2007 penggunaan obat ini sudah tidak direkomendasikan karena resistensi gonorrhea terhadap fluoroquinolone sudah meningkat7.

      -       Infeksi kulit

   -   Infeksi pernafasan seperti Acute sinusitis, Kronik bronchitis eksaserbasi akut maupun Pneumonia (CAP)

    -   Pada CAP, pasien dengan cardiopulmonary disease, pasien rawat inap yang tidak di ICU atau pasien yang alergi penisilin direkomendasikan untuk menggunakan respiratory fluoroquinolone.  Pada CAP parah yang memerlukan perawatan ICU, respiratory fluoroquinolone ini bisa dikombinasikan dengan beta-lactam. Penggunaan terapi kombinasi berhubungan dengan rendahnya angka mortalitas dibanding terapi monoterapi pada pasien yang mengalami pneumonia pneumococcal8.

4th Generasi

Moxifloxacin

   - Obat generasi ini mampu bekerja pada bakteri gram negatif, gram positif, atypical bahkan bakteri anaerob.

    - Sebagai tambahan bahwa kebanyakan obat Fluoroquinolones dieliminasi lewat renal system. Tapi pada moxifloxacin, obat ini dieliminasi lewat liver. Sehingga pada pasien gagal ginjal baik menggunakan obat ini

Mekanisme Resistensi

    Penggunaan antibiotik yang ugal-ugalan tanpa memperhatikan indikasi dengan serius bisa berujung ke keadaan resistensi. Keadaan dimana antibiotik tersebut tidak bisa bekerja pada bakteri targetnya.

  Setiap bakteri memiliki porin.  Porin ini digunakan untuk difusi molekul penting seperti nutrisi untuk masuk ke sel bakteri maupun membuang toxins yang berada dalam sel bakteri keluar. Fluoroquinolones masuk ke dalam bakteri melalui porin ini. Agar antibiotik ini bisa bekerja, dia harus mampu masuk ke dalam bakteri, mencapai tempat target kerjanya dan berakumulasi di sana untuk waktu tertentu.

Setiap bakteri memiliki kromosom maupun plasmid. Kedua hal ini lah yang berperan dalam proses resistensi bakteri terhadap antibiotik khususnya Fluoroquinolones.

Kromosom yang bermutasi memiliki mekanisme:

    -       Memodifikasi porin pada bakteri agar lebih sempit/selektif sehingga jumlah antibiotik yang bisa masuk ke dalam sel bakteri berkurang atau bahkan tidak bisa sama sekali.

    -       Memodifikasi Topoisomerase dari bakteri tersebut. Topoisomerase merupakan target kerja dari Fluorquinolones, sehingga antibiotik ini tidak berfungsi terhadap target kerjanya lagi.

Plasmid memproduksi protein khusus yang bertugas:

    -  Membuat efflux pump. Pompa ini bertugas untuk mengeluarkan antibiotik yang berhasil masuk ke dalam sel bakteri. Mekanisme ini memastikan bahwa antibiotik yang masuk ke dalam sel tidak mampu mencapai target kerjanya maupun tidak bisa berakumulasi di dalam sel bakteri tersebut.

  - Plasmid memproduksi enzim acetyltransferase yang mentransfer acetyl group ke fluoroquinolone yang masuk, sehingga obat ini tidak bisa berfungsi.

Fluoroquinolone pada anak-anak

 Fluoroquinolone harus dibatasi penggunaanya pada anak-anak. Ciprofloxacin diperbolehkan untuk treatment pasien anak dengan inhalation anthrax, complicated UTIs, dan pyelonephritis et cause E. coli pada anak usia 1 sampai 17 tahun dan ciprofloxacin dan levofloxacin juga diperbolehkan pada pasien postexposure inhalation anthrax. Moxifloxacin tidak disarankan untuk digunakan pada pasien pediatric1.

 Walaupun seharusnya dibatasi, penggunaan fluoroquinolones tetap saja masih sering pada pasien yang mengalami infeksi karena sifatnya yang broad spectrum, toleransi obatnya baik, dan mudah untuk dikonsumsi secara oral. Pseudomonas aeruginosa dan bakteri gram negatif lain sering ditargetkan dengan fluoroquinolones ketika dibutuhkan terapi secara oral, khususnya ciprofloxacin atau levofloxacin. Pada populasi khusus seperti anak dengan cystic fibrosis, seringkali terinfeksi dengan pathogen yang resisten dan fluoroquinolones bisa efektif di sini. Sebagai tambahan, ciprofloxacin juga digunakan untuk tatalaksana gastroenteritis akibat Shigella spp, Salmonella spp, E.coli dan Campylobacter spp1.

 Pada 2011, Pediatric Infectious Disease Society (PIDS) dan Infectious Disease Society of America (IDSA) mengeluarkan clinical practice guideline untuk CAP pada anak, Levofloxacin direkomendasikan sebagai terapi alternative untuk Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia pneumonia. Lalu, IDSA juga merekomendasikan levofloxacin untuk tatalaksana acute bacterial rhinosinusitis pada anak dan pasien dewasa yang alergi penisilin. Levofloxacin juga efektif untuk tatalaksana pasien otitis media rekuren. Namun, fluoroquinolone bukan merupakan first line pada keadaan-keadaan ini dan harus digunakan dalam pengawasan ketat pada pasien yang memang tidak memiliki alternatif lain1.

Keamanan pada anak-anak

    Penggunaan obat ini pada anak-anak memang dibatasi secara ketat. Obat ini bisa menyebabkan toksisitas pada system muskuloskeletal anak yang belum matang, walaupun mekanisme pastinya belum diketahui. Terdapat beberapa hipotesa bagaimana hal ini bisa terjadi, seperti:

      Obat ini akan menginhibisi DNA mitokondrial yang bertanggung jawab dalam sintesis immature chondrocytes.

      - Fluoride quinolone dipercaya menyebabkan kerusakan secara langsung terhadap cartilage, padahal nonfluorinated quinolone juga bisa menyebabkan kerusakan ini dibuktikan dengan eksperimen pada hewan

      -  Potensi terjadinya defisiensi magnesium pada cartiage diakibatkan kelasi dengan quinolone

Dari beberapa hipotesis diatas masih belum ada mekanisme pasti penyebab terjadinya arthropathy pada anak yang mengonsumsi Fluoroquinolone1.


Farmakokinetik dari Fluoroquinolone

    Sebagaimana kita ketahui bahwa obat ini bisa dikonsumsi dalam bentuk oral dan diabsorbsi dengan baik bahkan mencapai angka 80-90%. Walaupun diabsorbsi dengan baik, kita harus memperhatikan bahwa kation mampu mengurangi absorbi dari obat ini. Konsumsi antasida (Al+) sebelum penggunaan obat ini akan menurunkan absorbi antibiotik ini. Begitupula pada orang yang mengonsumsi yoghurt yang kaya akan Ca+ atau mengonsumsi suplemen Fe+ sebelum konsumi Fluoroquinolone bisa menyebabkan penurunan daya absorbs tubuh terhadap antiobiotik ini. Oleh karena itu, ada baiknya kita mengedukasi pasien untuk memberi jarak paling tidak 3 jam antara konsumi obat maupun makanan yang kaya akan kation dengan antibiotik ini.

    Kalau berbicara mengenai bentuk sediaan yang kebanyakan dalam bentuk oral, dalam keadaan tertentu kita membutuhkan obat ini berada pada konsentrasi yang tinggi dalam waktu yang cepat. Oleh karena itu kita membutuhkan Fluoroquinolones dalam sediaan injeksi. Fluoroquinolones yang tersedia dalam sediaan ini adalah Ciprofloxacin dan Levoloxacin.

    Obat golongan ini memiliki kemampuan penetrasi yang bagus bahkan sampai ketingkat sel, sehingga bisa mengeliminasi mikroorganisme intraseluler. Kemampuan penetrasi ke CNS pun begitu. Fluoroquinolone memiliki kemampuan yang baik untuk tatalaksana infeksi CNS. Ciprofloxacin baik untuk infeksi CNS akibat bakteri gram negatif dan moxifloxain baik untuk Mycobacterium tuberculosis. Namun, aktivitas fluoroquinolone terlalu lemah untuk tatalaksana meningitis diakibatkan Streptococcus pneumonia. Dikarenakan kemampuan penetrasi ke CNS yang baik, injeksi intrathecal tidak perlu dilakukan9.

    Kebanyakan obat golongan ini dieliminasi renal system, dengan melalui mekanisme filtrasi maupun transport aktif menuju tubulus nephrone dan pada akhirnya terakumulasi dalam urine. Oleh karena itu obat ini baik untuk tatalaksana pasien UTI. Yang perlu digaris bawahi adalah moxifloxacin dieliminasi lewat liver.

    Levofloxacin dan moxifloxacin memiliki waktu paruh yang panjang dan butuh waktu yang cukup lama untuk keluar dari dalam tubuh. Makanya kedua obat ini dapat diberi dalam dosis satu kali sehari dan cukup bermanfaat pada era COVID-19 ini untuk mengurangi kontak antara tenaga kesehatan dengan pasien COVID-19.


Efek Samping

    Obat ini cukup aman walaupun tetap memiliki efek samping. Kita akan membahas per-organ yang bisa terdampak

    a.    Gastrointestinal Tract (GIT)

Karena mayoritas dikonsumsi dalam bentuk oral, akan ada efek samping pada GIT sama halnya seperti obat lain yang bisa mengiritasi daerah ini. Efek samping paling umum adalah Nausea, Vomiting dan Diarrhea.

Dalam keadaan tertentu, kita harus lebih waspada terhadap komplikasi lebih serius yang bisa terjadi pada penggunaan obat ini. Antibiotik ini merupakan golongan antibiotik yang broad spectrum. Perlu diingat bahwa di GIT kita juga memiliki bakteri yang memerankan peran baik di sana. Syarat pertama suatu pathogen bisa menyebabkan penyakit pada pasien adalah harus mengalahkan bakteri baik ini terlebih dahulu. Bakteri baik ini disebut dengan flora normal.

Pada GIT kita terdapat suatu bakteri bernama Clostridium difficile. Bakteri ini memang sudah berada pada saluran cerna seseorang yang sehat, namun karena adanya flora normal tadi, bakteri ini tidak menyebabkan suatu keadaan sakit pada pasien. Ketika kita memberikan pasien antibiotik broad spectrum seperti Ciprofloxacin (contoh lain clindamycin atau 4th generation of cephalosporin), obat ini mampu membunuh banyak bakteri pathogen yang ada di GIT kita memang. Konsekuensi yang harus kita ambil adalah obat ini juga akan membunuh flora normal yang ada di GIT kita, Namun obat ini tidak mampu membunuh C. difficile ini. Apa yang terjadi? GIT kita akan mulai dipenuhi oleh bakteri ini. C. difficile akan mulai memproduksi toxin yang akan mulai merusak GIT system kita.


    -       Pseudomembranous colitis

Keadaan ini merupakan salah satu akibat dari meningkatnya jumlah C. Difficile dibanding flora normal di GIT kita. Singkatnya, toxin yang terbentuk mulai akan menyebabkan inflamasi dan merusak lapisan mukosa pada GIT. Big fight antara C. Difficile dengan system imun kita di GIT akan menyebabkan abdominal pain, diare maupun demam. Ketika lapisan mukosa pada GIT mengalami inflamasi, akan terjadi kebocoran protein plasma termasuk fibrin, Fibrin ini akan mulai membentuk membrane disana, dimana membrane in akan menjadi sarang bagi bakteri juga. Membrane yang terbentuk inilah kemudian disebut dengan pseudomembrane karena ini bukanlah membrane asli yang terbentuk dari mucosal membrane.


    -       Toxic Megacolon

Keadaan lebih parah yang bisa terjadi adalah Toxic Megacolon. Di GIT kita terdapat Enteric Nervous System (ENS) yang terdiri dari Auerbach’s plexus dan Meissner’s plexus. Ketika terlalu banyak toxin yang terbentuk dan big fight dengan sistem imun kita juga terjadi di GIT, lama kelamaan ENS ini tidak akan menjadi disfungsional. Smooth muscle akan berhenti kontraksi menyebabkan GIT menjadi relax dan berdilatasi lalu dipenuhi dengan gas. Keadaan ini lah yang disebut dengan toxic megacolon. keadaan ini berbahaya karena bisa menyebabkan kematian.

Lalu, apa yang kita bisa lakukan dalam keadaan seperti ini? kita bisa menggunakan Metronidazole ataupun Vancomycin sebagai treatment atas infeksi C. difficile ini.


    b.    Central Nervous System (CNS)

Sama seperti GIT tadi, efek samping dari obat ini ada yang ringan ada juga yang berat.  Efek samping yang biasa terjadi pada CNS adalah headache dan dizziness. Lalu, bagaimana dengan efek samping yang lebih berbahaya?

    -       Seizure

Mengapa Fluoroquinolone bisa menyebabkan kejang? Obat ini bisa menghambat kerja dari Gamma Aminobytric Acid (GABA) Receptor. Perlu diingat basic physiology bahwa GABA merupakan lawan dari Glutamat pada otak kita. GABA bertugas sebagai inhibitor sedangkan Glutamate sebagai eksitator. GABA akan menghambat terjadinya overactivity pada otak kita dengan bertindak sebagai rem. Ketika rem ini diganggu kerjanya, tidak heran kejang bisa terjadi.

Obat ini juga mampu menghambat kerja dari sitokorom P-450 (CYP). Enzim ini bertugas untuk melaksanakan proses Xenobiotic Metabolism di dalam tubuh kita. Xenobiotic adalah substance yang ditemukan dalam tubuh organism yang secara natural tidak diproduksi oleh organism itu sendiri, seperti obat atau racun. Jadi, enzim ini penting untuk proses eliminasi obat dari dalam tubuh kita.

Ketika seorang pasien rutin mengkonsumsi Teofilin ataupun Caffeine, lalu mengkonsumsi Fluoroquinolone. Keadaan ini akan menyebabkan tubuh overload dengan kedua substansi ini sehingga bisa menyebabkan kejang pada pasien. Sebagai tambahan, pada pasien yang rutin mengonsumsi obat seperti warfarin, lalu mendapat tambahan terapi Fluoroquinolones bisa meningkatkan chance untuk terjadinya spontaneous bleeding.


    c.    Kulit

Efek samping pada kulit bisa menyebabkan phototoxicity. Kulit akan menjadi sangat sensitive terhadap cahaya. Pasien disarankan untuk menghindari paparan cahaya matahari berlebihan dan menggunakan sunblock. Apabila efek samping ini muncul pada pasien, kita harus segera menghentikan penggunaan obat ini


    d.    Musculoskeletal System

Artropati merupakan efek yang bisa terjadi pada pasien. Obat ini akan merusak cartilage yang sedang tumbuh. Itulah mengapa obat ini sangat dibatasi penggunaannya pada anak-anak, ibu hamil maupun ibu yang sedang menyusui.

Pada pasien yang berusia di atas 60 tahun memiliki risiko untuk terjadinya tendinitis bahkan rupture tendon. Risikonya akan meningkat apabila pasien rutin mengonsumsi kortikosteroid

    e.    Cardiac

    Perlu diperhatikan pada pasien yan gmemiliki tendency untuk terjadinya cardiac arythmia. Apalagi apabila pasien tersebut sudah mengonsumsi obat-obatan anti-aritimia. Obat seperti Moxifloxacin bisa menyebabkan prolong pada qtc interval yang bisa mengarah ke torsa de pointes.

Daftar Pustaka

1.     Patel K, Goldman JL. Safety Concerns Surrounding Quinolone Use in Children. J Clin Pharmacol. 2016;56(9):1060-1075. doi:10.1002/jcph.715

3. King DE, Malone R, Lilley SH. New classification and update on the quinolone antibiotiks. Am Fam Physician. 2000;61(9):2741-2748.

6.     Coker TJ, Dierfeldt DM. Acute Bacterial Prostatitis: Diagnosis and Management. Am Fam Physician. 2016;93(2):114-120. Diakses melalui https://www.aafp.org/afp/2016/0115/p114.pdf

    8.     Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A et al. Infectious Diseases Society of America/American Thoracic Society consensus guidelines on the management of community-acquired pneumonia in adults. Clin. Infect. Dis. 44(Suppl. 2), S27–S72 (2007).
•• An excellent resource for the management of community-aquired pneumonia (CAP), this reference unifies the Infectious Diseases Society of America and American Thoracic Society guidelines.

    9.     Roland Nau, Fritz Sörgel, Helmut Eiffert. Penetration of Drugs through the Blood-Cerebrospinal Fluid/Blood-Brain Barrier for Treatment of Central Nervous System Infections. Clinical Microbiology Reviews Oct 2010, 23 (4) 858883; DOI: 10.1128/CMR.00007-10


Komentar

Postingan Populer